Memilih. Sakit hati.

Hidup memang sebuah pilihan. Tapi hati bukan. Sedangkan ada banyak pilihan yang seharusnya bisa untuk tidak dipilih, agar sakit tidak mampir di hati.

Semua tentang pilihan. Menurutku, sekarang hati itu seperti jalanan ibukota. Sakit hati seperti macet. Kalau kamu berurusan dengan jalanan ibukota, kamu bukan memilih untuk melewati jalanan mana yang tidak terkena macet, tapi kamu memilih untuk terkena macet pada jalanan bagian mana. Tidak ingin terkena macet? Tidak usah pergi sama sekali.

Semua tentang pilihan. Kamu bisa saja melihat seorang perempuan yang menarik perhatianmu dalam gerbong kereta api yang sama denganmu. Kamu bisa menyapanya. Kamu bisa menanyakan namanya. Kamu bisa berinteraksi dengannya. Kamu bisa mengenalnya lebih jauh dan lebih baik. Temanku pernah bilang, ‘Lebih baik menyesal kenalan daripada menyesal tidak kenalan’. Dan ketika rasa dan harapan mulai muncul, ada saat dimana kamu harus meninggalkannya dan tidak membersamainya. Kamu sakit hati.
Hey! Atau kalau kamu bisa memilih, kamu bisa hanya menanyakan namanya. Tapi dia belum tentu mau berkenalan denganmu. Kamu sakit hati.
Tunggu, tapi ketika kau bisa memilih, kamu bisa hanya membiarkan kalian berpapasan dan menjadikan kalian dua orang manusia yang dibersamakan dalam sebuah gerbong kereta. Sekedar itu. Tidak ada yang sakit hati.

Untukmu yang sedang terduduk manis menyulam selimut harapan, sebaiknya jangan terlalu cepat kamu selesaikan. Jangan terlalu cepat menyelimuti hati yang belum tentu sedang menggigil kedinginan. Waktu yang kamu sisihkan untuk menyelesaikan sulaman indahmu, tidak pantas dikoyak secepat tetes hujan yang meninggalkan langit lalu menemui bumi. Karena tidak semua orang pantas untuk mendapatkan sakit hatimu. Dan tidak semua obsesi dalam kepalamu adalah jatuh cinta dari hatimu.

Apa yang kamu harapkan dari seorang yang tak melihatmu istimewa dibanding tujuh miliar manusia yang sibuk lalu lalang? Sekotak bualan? Atau sebungkus palsunya harapan? Sakit hati hanya menunggu waktu. Entah di saat ia menganggapmu aneh di awal kamu mencoba mengenalnya, atau beberapa bulan setelah kamu dibuatnya merasa bahwa kamu tak seperti lainnya. Hati, tetap sakit. Dan disakiti. Kamu yang memilih. Dan jangan salahkan orang lain yang melakukan tindakan dari apa yang sudah kamu pilih di persimpangan.

Semua tentang timing. Tentang kesesuaianmu dengan waktu dan keadaan. Tidak salah menyapanya dalam gerbong ke enam kereta pagi itu. Tidak ada yang salah dengan menanyakan namanya ketika antrean mesin atm yang sedang ramai dikunjungi. Namun juga tidak ada salahnya hanya berpapasan dan tak membiarkan mata kalian saling bertemu. Karena ada banyak entitas yang hilang memang untuk tidak ditemukan. Ada sesuatu yang dirahasiakan untuk tidak dicari tahu. Dan selalu ada hal yang tidak bisa didapatkan. Selalu menyakitkan hati. Dan aku harap, itu bukan dia.

Seperti yang ku bilang tadi, semua tentang pilihan. Entah kamu yang memilih menjajakan perasaanmu untuk disandera, atau rasa penasarannya padamu yang terlalu lihai membuka gembok hatimu. Tidak semua pemilik rasa akan merobek asa. Tidak semua pemegang harap hanya sekedar hinggap. Kamu yang memilih. Membiarkannya mampir lalu pergi, atau tak meliriknya sama sekali. 

Biarkan garis waktu merangkak senyap mengantarkan takdir. Membawakan harap yang belum sempat mampir. Kamu bisa membuat langit mendengar, loh! Sedikit berbisik pada bumi, dan kamu titipkan mohon mu pada sekat-sekat malam. Agar esok pagi, surga membacanya dengan lantang. Karena kamu hanya manusia lemah yang begitu rentan, dan menerima hati sebagai sebuah titipan.  Jangan terlalu pintar menyusun apa yang belum tentu bersesuaian. Jangan terlalu yakin pada ucap yang menghanyutkan. Karena bisa saja, ketika akhirnya kamu tidak bersama dengan ia yang kamu sebut namanya dalam mohonmu, kamu dibersamakan dengan ia yang menyebut namamu dalam mohonnya.



0 komentar:

Posting Komentar