Untuk ku

Setitik senyum yang tak sengaja kupinjam

mengusir risau hingga kedua mata terpejam


Untuk ku

Gumpalan mimpi yang tak sengaja singgah

Menemani bulan yang tanpa sadar kesepian


Untuk ku

Hangatnya peluk yang kau titipkan

Mengusap air mata yang berjatuhan


Untuk ku

Sepotong ucap penuh tanda tanya

Bukan celoteh untuk seisi dunia


Namun tidak untuk mu

Yang mendekap peluk tak bertamu

Yang tanpa henti menyajikan rindu

Yang luput senyap seperti semesta.

Jangan sengaja letih menunggu.

Sedang kamu tak terbiasa berbincang dengan waktu.

Coba lihat hati yang selama ini kau pangku.

Jangan-jangan ia tak menghangat dalam pelukmu.

Mungkin karena keras kepalanya hatimu,

Atau memang ia hanya ingin bertamu.

Tak semua hangat mengobati jiwa yang rapuh,

Dan tak setiap hati yang kau peluk seutuhnya terjatuh.


Coba berhenti dan tanyakan pada hati yang kau genggam.

Apakah selama ini hanya tersenyum atau juga terpejam?

Bagaimana jika hati dengan tenangnya menggundah?

Entah apakah perasaan, atau logika yang bersalah.

Tentang kamu yang mengisi hatinya.

dan tentangnya yang sedang mengisi hatimu.

Tegaskan, kamu mencintainya,

atau mencintai perasaanmu padanya.



Hidup memang sebuah pilihan. Tapi hati bukan. Sedangkan ada banyak pilihan yang seharusnya bisa untuk tidak dipilih, agar sakit tidak mampir di hati.

Semua tentang pilihan. Menurutku, sekarang hati itu seperti jalanan ibukota. Sakit hati seperti macet. Kalau kamu berurusan dengan jalanan ibukota, kamu bukan memilih untuk melewati jalanan mana yang tidak terkena macet, tapi kamu memilih untuk terkena macet pada jalanan bagian mana. Tidak ingin terkena macet? Tidak usah pergi sama sekali.

Semua tentang pilihan. Kamu bisa saja melihat seorang perempuan yang menarik perhatianmu dalam gerbong kereta api yang sama denganmu. Kamu bisa menyapanya. Kamu bisa menanyakan namanya. Kamu bisa berinteraksi dengannya. Kamu bisa mengenalnya lebih jauh dan lebih baik. Temanku pernah bilang, ‘Lebih baik menyesal kenalan daripada menyesal tidak kenalan’. Dan ketika rasa dan harapan mulai muncul, ada saat dimana kamu harus meninggalkannya dan tidak membersamainya. Kamu sakit hati.
Hey! Atau kalau kamu bisa memilih, kamu bisa hanya menanyakan namanya. Tapi dia belum tentu mau berkenalan denganmu. Kamu sakit hati.
Tunggu, tapi ketika kau bisa memilih, kamu bisa hanya membiarkan kalian berpapasan dan menjadikan kalian dua orang manusia yang dibersamakan dalam sebuah gerbong kereta. Sekedar itu. Tidak ada yang sakit hati.

Untukmu yang sedang terduduk manis menyulam selimut harapan, sebaiknya jangan terlalu cepat kamu selesaikan. Jangan terlalu cepat menyelimuti hati yang belum tentu sedang menggigil kedinginan. Waktu yang kamu sisihkan untuk menyelesaikan sulaman indahmu, tidak pantas dikoyak secepat tetes hujan yang meninggalkan langit lalu menemui bumi. Karena tidak semua orang pantas untuk mendapatkan sakit hatimu. Dan tidak semua obsesi dalam kepalamu adalah jatuh cinta dari hatimu.

Apa yang kamu harapkan dari seorang yang tak melihatmu istimewa dibanding tujuh miliar manusia yang sibuk lalu lalang? Sekotak bualan? Atau sebungkus palsunya harapan? Sakit hati hanya menunggu waktu. Entah di saat ia menganggapmu aneh di awal kamu mencoba mengenalnya, atau beberapa bulan setelah kamu dibuatnya merasa bahwa kamu tak seperti lainnya. Hati, tetap sakit. Dan disakiti. Kamu yang memilih. Dan jangan salahkan orang lain yang melakukan tindakan dari apa yang sudah kamu pilih di persimpangan.

Semua tentang timing. Tentang kesesuaianmu dengan waktu dan keadaan. Tidak salah menyapanya dalam gerbong ke enam kereta pagi itu. Tidak ada yang salah dengan menanyakan namanya ketika antrean mesin atm yang sedang ramai dikunjungi. Namun juga tidak ada salahnya hanya berpapasan dan tak membiarkan mata kalian saling bertemu. Karena ada banyak entitas yang hilang memang untuk tidak ditemukan. Ada sesuatu yang dirahasiakan untuk tidak dicari tahu. Dan selalu ada hal yang tidak bisa didapatkan. Selalu menyakitkan hati. Dan aku harap, itu bukan dia.

Seperti yang ku bilang tadi, semua tentang pilihan. Entah kamu yang memilih menjajakan perasaanmu untuk disandera, atau rasa penasarannya padamu yang terlalu lihai membuka gembok hatimu. Tidak semua pemilik rasa akan merobek asa. Tidak semua pemegang harap hanya sekedar hinggap. Kamu yang memilih. Membiarkannya mampir lalu pergi, atau tak meliriknya sama sekali. 

Biarkan garis waktu merangkak senyap mengantarkan takdir. Membawakan harap yang belum sempat mampir. Kamu bisa membuat langit mendengar, loh! Sedikit berbisik pada bumi, dan kamu titipkan mohon mu pada sekat-sekat malam. Agar esok pagi, surga membacanya dengan lantang. Karena kamu hanya manusia lemah yang begitu rentan, dan menerima hati sebagai sebuah titipan.  Jangan terlalu pintar menyusun apa yang belum tentu bersesuaian. Jangan terlalu yakin pada ucap yang menghanyutkan. Karena bisa saja, ketika akhirnya kamu tidak bersama dengan ia yang kamu sebut namanya dalam mohonmu, kamu dibersamakan dengan ia yang menyebut namamu dalam mohonnya.




Ada tatap yang mestinya  membuat luruh,

pada masa yang membeku tak bernyawa. 

Ada rindu yang dengan sendirinya membuat gaduh,

meski diam merangkul erat kata-kata.

Ada hati yang ditakdirkan untuk saling terjatuh,

tapi tidak untuk saling bersama.


Ada yang terlanjur jatuh dan terhempas.

Atau mungkin hanya ambisi yang terkemas.

Sungai harap mengalir begitu deras.

Padahal sang arus tak terlihat begitu jelas.


Wajar dengan sendirinya terinisiasi.

Menjadikan setiap tingkah berarti.

Bukan karena yang terjatuh adalah hati,

tapi tentang frekuensi yang lupa di–kalibrasi.





Kamu mencari-cari bayang seraya berteduh.

Menyandarkan lelah mengusap peluh.

Melemparkan gumpalan-gumpalan celoteh pada langit.

Sambil mencipta harap yang tak pernah bisa pamit.

Merengek payah pada angan-angan usang.

Dahagamu tak sudah-sudah nya meradang.

Membawamu pada halusinasi sungai yang menerjang.

Padahal aku hanya padang gersang yang kering kerontang.


Oh ya, tentang gumpalan celotehmu,

Apa jawaban langit yang ia sampaikan padamu?

Biasanya, ia mendelegasikan hujan sebagai jawaban.

Atau seringnya hanya mendung yang menyejukan.

Bagaimana dengan gelembung besar yang kau tiup pada setiap kesempatan?

Sudah kau pecahkan?

Atau terus kau jaga sampai meneduhkan?

Ya, gelembung harapan.


Titipkan pada waktu.

Tentang semua benci dari rindu.

Tentang semua asa yang membatu.

Dari semua entitas yang kau tunggu,

Yang kau nanti tanpa bicara.

Menyembunyikannya rapat tanpa suara.

Tanpa sadar kau menunggu persiar samudera,

Dengan duduk manis diatas bangku bandara.